Tuesday, August 22, 2006

Ketika Orang Miskin Bicara Tentang Kemiskinan



Penomena kemiskinan telah menjadi wajah buram bangsa ini. Betapa tidak, kemiskinan telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan warga hampir disemua lapisan.  Penomena ini bukan hanya berupa angka-angka yang tiba-tiba melonjak, tetapi juga telah menjadikan moral warga berada diambang mengkhawatirkan. Namun bagaimanakah orang miskin memandang tentang kemiskinan itu sendiri? Bagaimana pendapat mereka tentang program-program pengentasan kemiskinan saat ini? Berikut ulasannya.



Laporan; Marwan.

“Sesungguhnya apa itu kemiskinan?,” “Kenapa masih ada saja diantara kita yang mau mengaku miskin?,”. Ragam pertanyaan yang bernada mengkritisi diri sendiri ini mengalir begitu saja dari mulut para “kaum papa” tanpa malu-malu, dalam sebuah diskusi terbatas yang digelar Green Press sebuah organisasi perkumpulan wartawan lingkungan kendari, di balai kelompok petani mangga dua, Sabtu (15/4) lalu.

Jawaban muncul pun beragam, walau penggambarannya sedikit ‘samar-samar’ dan terdengar kocak. Said misalnya memandang definisi kemiskinan itu ibarat pertemuan air laut dengan air sungai, sudah sulit membedakan mana miskin dan tidak miskin. Terlebih dalam upaya penanganan kemiskinan itu sendiri yang berujung pada ‘kaburnya’ nilai-nilai moral di masyarakat.

Ia pun mencontohkan program bantuan kompensasi BBM, banyak hal yang janggal karena criteria miskin yang ditetapkan pemerintah tidak jelas, sehingga yang muncul kemudian adalah banyak ‘orang’ yang tiba-tiba mengaku miskin, padahal sebetulnya tidak miskin. “Paling parah lagi program bantuan ini dalam implementasinya menjadi ladang korupsi bagi pihak-pihak lain,”kata Ketua Kelompok Tani Mangga Dua, kelurahan Mangga Dua Kendari. ..

Lain pula yang dikatakan, Munir. Miskin kata dia bisa diplesetkan dengan arti “Makan mie instant dan ikan asin”. Harusnya pemerintah dalam menangani kemiskinan tidak usah repot-repot mencari kritria yang berbelit-belit, cukup melihat warga itu makan mie instant dan ikan asin sudah menggambarkan keberadaan seseorang yang berkategori miskin.

“Petugas BPS tidak usah cape-cape keliling mendata itu orang miskin, cukup melihat apakah dia mampu membeli makanan atau tidak. Sebab fakta yang ada selama ini para penerima bantuan justeri punya handphone. Dan dana BLT yang mereka terima dipakai untuk beli pulsa. Inikah tidak benar,”kata Munir yang pernah menjadi korban PHK Tahun 1997 dari sebuah perusahaan di Kendari.

Ia melihat hingga kini pembodohan orang miskin yang dilakukan orang pintar yang punya kedudukan masih sangat dominan. “orang miskin condong tidak punya wawasan sebab mereka telah miskin ilmu, miskin etika, miskin moral. Karena itu pula orang miskin kerap menjadi kambing hitam.

Baginya Munir, pendapatan tidak tetap, tidak ada KTP, tidak diakui sebagai warga kota ( karena tidak punya tempat tinggal / tidak punya lahan, tidak bisa menyekolahkan anak,

Tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak punya kekuatan untuk menyentuh program pemerintah merupakan rangkaian dari criteria orang miskin. “Alat ukur inilah yang harus dipakai pemerintah, sebelum menetapkan sebuah criteria yang lagi-lagi cenderung tidak dipahami masyarakat,”ujarnya.

Diskusi ala petani ini tak hanya ‘menyentuh’ kemiskinan secara umum. Tetapi
membedah sejumlah pandangan tentang kemiskinan disekitar kawasan hutan. Dua petani Muasri dan Naim mematok criteria orang miskin disekitar kawasan hutan yakni warga yang kebutuhan sehari-harinya tidak lagi terpenuhi, pendapatan tidak tetap, sehingga ketidakmampuan menyekolahkan anak-anak.

“Memandang sebuah kemiskin itu relative, artinya tiap orang mungkin berbeda pandangan. Bagi saya yang masuk dalam kelompok pelestari hutan sudah pasti miskin, karena buat apa mereka mencari tambahan pendapatan dengan ‘masuk’ hutan bila kebutuhan hidupnya terjamin,’kata Naim, Ketua Kelompok tani Sarungga, Kelurahan Kemaraya, Kendari.

Lain pula pandangan Jayawati, perempuan berjilbab ini memandang kemiskinan sekitar hutan itu karena musiman. “Artinya Jika musim jambu dapat uang, kalau tidak mencari tambahan di pasar,”ujarnya.

Baginya kemiskinan leih banyak terjadi di pinggiran hutan, karena warga tidak lagi bisa mengakses kebutuhan hidup baik kebutuhan sandang dan pangan.
Ia pun membandingkan orang-orang yang tinggal dalam kota adalah orang-orang mampu, karena sudah punya tempat. Sedangkan masyarakat sekitar hutan adalah orang yang tidak mampu membeli membali tanah dalam kota.

Namun pendapat Jayawati ini agaknya berbeda dengan pendapat Said. “Tidak ada beda, miskin orang kota dan orang yang tinggal di sekitar hutan. Hanya faktor gaya hidup dan sosial yg membedakan. Said mengaku ada komunitas tertentu yang menyebabkan kemiskinan terjadi, sebab tidak lebih pada masalah kultur atau budaya yang terbangun selama ini agak keliru.

Lalu apa penyebab masyarakat miskin sekitar hutan? Menurut analisa Said, penyebab kemiskinan itu sendiri terdiri dari sejumlah kriteria misalnya sektor lapangan kerja kurang. Tahun 2000-2003 pekerjaan di pelabuhan kurang, tapi setelah ada pelabuhan kontainer sedikit tertolong. Selain itu akibat buruh toko sering di PHK.

Dalam konteks kemiskinan warga yang bermukim di sekitar kawasan hutan itu disebabkan beragam faktor. Terutama latar belakang para pemukim itu sendiri. Di Kelurahan Gunung Jati misalnya, warga yang bermukim disekitar kawasan hutan berasal dari berbagai latar belakang,s eperti buruh pelabuhan 60 persen, buruh toko 15 persen , pedagang kaki lima serta dari sektor pekerjaan lainnya. Ini dapat pula dibagi lagi terdiri buruh pelabuhan ada dua kelompok, ada anggota dan lepas.

Beragam cerita tentang kemiskinan, baik yang dialami sendiri oleh para petani maupun potret cerita sanak familiy petani tahura juga muncul dalam sesi diskusi itu. Ibu Siti Suryana misalnya, semenjak suaminya sakit, Ia tidak bisa lagi memenuhi kewajiban sebagai suami.

Ia terpaksa keliling ke tetangga untuk meminjam beras. Saat ini praktis kelurga Siti Suryana sangat tergantung pada bantuan Beras miskin (raskin). Termasuk pula bergantung pada dana bergulir yang dilayangkan pemerintah. “Pernah saya berharap dapat bantuan dana bantuan tapi tidak dilayani,”ungkap wanita parobaya ini.

Meski semua serba terbatas, Siti Suryana masih bertekat menyekolahkan ketiga anaknya. “Tiga anak saya masih bersekolah. Tapi terpaksa saya harus gilir jadwal sekolah mereka. Jika hari ini dua orang yang masuk sekolah, terpaksa anak saya yang satunya tidak masuk sekolah. Semua ini karena kami kekurangan biaya,”kata Siti Suryana dengan mata-berkaca-kaca. Kondisi serba kekurangan ini telah dirasakan sejak 18 tahun silam, sejak suaminya tidak lagi bekerja.

Diskusi kemiskinan yang dihadiri kaum miskin kota dan warga miskin yang berdomisili disekitar kawasan hutan ini berbeda dengan diskusi yang ada selama ini. Dimana undangan diskusi yang kerap digelar selama ini lebih didominasi para penggiat kemiskinan seperti LSM atau pemerintah ketimbang warga miskin itu sendiri. Padahal kata Midwan penanggung jawab diskusi yang juga anggota Green Press, bahwa titik letak kemiskinan dan ukuran kriteria kemiskinan sedapatnya mendengarkan pendapat para kaum miskin itu sendiri. “Saatnya diubah model diskusi, tidak hanya melulu mengundang orang-orang yang justeru tidak merasakan kemiskinan dan hanya tau merusmukan di atas kertas,”katanya.

Makna Kemiskinan Dimata NGO dan Pemerintah

Kendari,-JURnal-,Kendati program pengentasan kemiskinan telah banyak digulirkan oleh berbagai lembaga termasuk pemerintah hingga menghabiskan triluyanan rupiah, namun masalah kemiskinan hingga saat ini tak kunjung selesai. Anehnya warga miskin kian meningkat dari tahun ke tahun.

Hal tersebut menjadi sorotan tajam oleh peserta diskusi reguler yang difasilitasi Green Press (Perkumpulan Wartawan Lingkungan), Sabtu (29/4) lalu. Menurut Sejumlah kalangan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama ini memiliki beberapa kelemahan antara lain penentuan kriteria kemiskinan cenderung dilakukan secara top down tanpa melibatkan masyarakat miskin dan kurangnya koordinasi antar intansi pemerintah dan lembaga pengelola program pengentasan kemiskinan hingga moralitas pengelola program.

Selain itu, political will pemerintah dalam mengatasi kemiskinan dinilai masih lemah sehingga masalah kemiskinan tak kunjung selesai. “Lemahnya political wiil pemerintah membuat minimnya alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat miskin,”kata Direktur Lepmil Rustanto.

Misalnya nasib ratusan warga di Kelurahan Pungoloba Kampung Baru yang bermukim di belakang Kendari Beach Hotel hingga kini tak diakui sebagai warga Kota Kendari hanya karena mereka berada di areal kawasan lindung Taman Hutan Raya (Tahura) Murhum, sehingga pemerintah kelurahan tak bersedia memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Akibatnya warga Kampung Baru tak dapat mengakses layanan publik baik berupa layanan pendidikan dan kesehatan termasuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) tak satu warga Kampung Baru yang menikmatinya.
Beragam program pemerintah sudah ditelurkan, misalnya program P2KP, BLT, Jaringan Pengaman Sosial (JPS) dan sebagainya, namun angka kemiskinan bukan berkurang tapi terus membengkak setiap tahun.
Ketua Jaringan Masyarakat Pelestari Sumber Daya Alam (Jamasda) Kota Kendari, Asri Imran Tanda menilai program-program seperti P2KP yang menikmati bukannya orang miskin tapi mereka yang tergolong kaya dan berpendidikan.
Hal tersebut membuat Asri bersikap apriori terhadap pemerintah dalam menangani persaoalan kemiskinan. Menurutnya pemerintah selama ini kesanya kurang memiliki kepekaan terhadap kondisi masyarakat dan baru bereaksi jika ada upaya pressure keras berupaya aksi demontrasi. “Tapi kalau disampaikan baik-baik sepertinya tidak digubris. Jadi sudah begitulah cara pemerintah menangani setiap persoalan masyarakat,”kata pria paru baya ini.
Sementara Ketua Majelis Amanat Rakyat (MARA) Hidayatullah menilai masalah kemiskinan tidak terlepas dari political will pemerintah. Masalah banyaknya korupsi, membuat masyarakat makin miskin, konsep pemberdayaan hanya carikatif ( sama memberi peminta-minta). Konsep pemberdayaan yang dilakukan selama ini bukanya mampu membuat masyarakat keluar dari jeratan kemiskinan tapi justru membuat orang lebih miskin.
“Kita membutuhkan pemimpin yang memiliki political will yang kuat dan pro terhadap pemberdayaan rakyat kecil. Itu yang ingin kita cari,”ujarnya.
Ia lalu mencontohkan dua pimpinan daerah yang dinilai sukses menerapkan program pembangunan yang pro terhadap kepentingan rakyat kecil yakni Bupati Kabupaten Jembrana- Denpasar dan Kabupaten Solok Sumatera Barat.
Di Jembrana masyarakat bebas biaya sekolah dan memperoleh layanan kesehatan gratis. Sementara di Solok layanan publik dilakukan secara transparan sehingga mampu menekan angka korupsi. Keberhasilan tersebut tentu terlepas dari kuatnya political will kedua pemimpin daerah tersebut.
Mencontoh kedua daerah itu bukan hal mustahil, sepanjang ada political will dari pemimpin di daerah. Menurut Dayat, sapaan akrab Hidayatullah, pendidikan dan pelayanan gratis bisa saja diberlalukan di daerah-daerah seperti Kota Kendari. Caranya setiap tahun porsi anggaran kedua bidang tersebut diperbesar dengan mengamputasi kebijakan yang tidak penting dan tidak bermoral.
“Biaya perjalanan dinas-dinas keluar daerah yang nilainya lumayan besar bisa dipangkas dan dialokasikan pada bidang pendidikan dan kesehatan,”ujarnya.
Koordinator Green Press Yos Hasrul mengungkapkan,di Sulawesi Tenggara banyak masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar hutan. Di Kota Kendari misalnya mereka bisa ditemukan di Tahura Murhum dan Papalia.
Mereka yang hidup disekitar dan di dalam kawasan hutan tersebut mengaku terpaksa masuk ke dalam hutan karena terlilit kemiskinan, namun sayangnya pemerintah terkesan acuh tak acuh dengan kondisi rakyatnya. Buktinya mereka tak diberikan KTP sehingga otomatis tidak bisa mengkases layanan publik yang semestinya mereka peroleh sebagai warga negara.
”Angka kemiskinan hingga Desember 2005 di Kota Kendari mencapai 50,08 persen atau sekitar 15.000 kepala keluarga termasuk kategori miskin. Data ini angka kemiskinan yang paling dominan tersebar dibeberapa kelurahan yang notabene berada disekitar kawasan hutan Tahura dan Papalia,”ungkap aktifis Environment Parliamen Watch (EPW) Kota Kendari ini.
Menurutnya ketidak mampuan masyarakat mengakses beragam informasi serta tidak adanya political will pemerintah adalah faktor utama penyebab terjadinya kemiskinan.”Bagaimana masyarakat bisa mengakses layanan publik baik itu berupa kesehatan dan pendidikan kalau mereka tak pernah diakui sebagai warga negara (beri KTP red),”tukasnya.
Sementara dua orang dari pihak pemerintah Kota Kendari yakni Armin Daming dari Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Nakertransosial) dan Amelia dari Dinas Kesehatan Kota Kendari cenderung melihat kemiskinan dari sisi ketidak mampuan masyarakat dari sisi ekonomi.
Menurut Armin, kriteria kemiskinan sudah dibahas bersama-sama dengan instansi terkait seperti Badan Koordinaso Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPMD). Jika dipadukan seluruh kriteria dari lembaga tersebut cukup banyak dan sangat beragam. Instansinya sendiri memandang kemiskinan itu dari angka pengangguran.“Memang, pengangguran belum tentu orang miskin. Tapi dalam kriteria kami justru miskin, sebab belum punya lapangan kerja tetapm,”jelasnya.
Amelia dari Dinas Kesehatan Kota Kendari mengatakan, pelayanan kesehatan bagi masyarakat merupakan program nasional yang dimulai sejak 1998 dengan diluncurkannya Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Di Kota Kendari sendiri sudah dibentuk Komite Kesehatan hingga tingkat kelurahan.
Tahun 2002 muncul lagi program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PD-PSE) berupa pelayanan kesehatan gratis bidang Kesehatan. Lalu muncul lagi program PKPSBBM dan terakhir Jaringan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM).
JPKMM sendiri prosesnya dimulai dari sensus warga miskin oleh bidang desa dibantu lurah. Khusus di Kota Kendari sedikitnya terdapat 60.117 jiwa warga tergolong miskin yang perlu mendapat layanan kesehatan gratis.
“Sebenarnya, pemerintah sudah meluncurkan beragam program layanan kesehatan kepada warga miskin. Entah itu itu lewat Bakesra maupun Akesra. Prinsipnya, seluruh warga Kota Kendari khususnya yang memiliki kemampuan membantu warga miskin. Tapi bagaimana mekanismenya tentu saja inilah menjadi kendala utama,”katanya.
Lanjutnya, Akesra mungkin bisa menjadi solusi menangani tingginya biaya kesehatan bagi warga miskin. Namun perlu dibuatkan payung hukum sehingga ada aturan main, khususnya mekanisme pengumpulan dana masyarakat.
Apa yang diungkapkan Amelia ternyata sudah dipraktekan oleh Sintesa. Salah satu LSM yang konsen dalam bidang pemberdayaan masyarakat di Sultra. Menurut Mustadjab, diera kepimpinan Alala diawali dengan munculnya Pos Obat Desa (POD). Dananya dari pemerintah berupa pembelian aneka jenis obat-obat-obat dibutuhkan warga di daerah terpencil sehingga warga tidak lagi membeli obat ke kota tapi bisa memperoleh obat-obatan di POD.
Program tersebut kemudian memicu lahirnya swadaya masyarakat berupa program dana sehat. Setiap warga secara sukarela mengumpulkan dana Rp 500 yang kemudian bertambah menjadi seribu.

“Jika ada warga yang jatuh sakit didanai lewat program tersebut melalui puskemas hingga di Rumah Sakit,”ungkapnya.

Sayang program tersebut berumur pendek sebab pemerintah mulai meluncurkan paket kebijakan berupa JPS-BK. Akibatnya prinsip keswadayaan itu kembali luntur sebab menilai masalah kesehatan bagi warga miskin ternyata dibiayai pemerintah.

Diskusi reguler tersebut merupakan kegiatan lanjutan dari diskusi terbatas sebelumnya pernah di gelar Green Press yang menghadirkan masyarakat miskin yang hidup dan berdomisili di sekitar Tahura Murhum (15/4) lalu. Namun sangat disayangkan pihak BPS Sultra dan BPS Kota Kendari serta BKKBN Sultra yang diharapkan menjadi vokal poin tidak hadir dalam diskusi tersebut. (Marwan Azis)

No comments: