Sunday, August 13, 2006

Penjajah Lebih Bermoral Menangani Hutan

SUATU sinyal keprihatinan yang mendalam dan bahkan rasa pesimisme dan keputusasaan tercermin dari pernyataan Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban, yang mengatakan pemerintah yang berkuasa, bahwa penggundulan hutan di Indonesia telah mencapai luas 60 juta hektare atau seluas 10 kali Pulau Jawa.


Pulau Jawa hanya menyisakan 18% hutan. Sementara, hutan-hutan di Sumatra bakal habis dalam tempo 5 tahunan, disusul kemudian oleh hutan Kalimantan apabila pembalakan liar (illegal logging) kayu tidak dihentikan sama sekali. Terkait dengan tindakan-tindakan ini, negara sempat dirugikan Rp 1 triliun per tahun atau Rp 83 miliar per hari.
Apakah sudah waktunya kita bisa menepuk dada bahwa dalam tempo relatif singkat kira-kira 3 dasawarsa terakhir pascakemerdekaan, bangsa Indonesia sudah mampu membersihkan alias mencukur habis areal hutan rimba tropis seluas 60 juta ha, sama dengan 10 kali luas Pulau Jawa?
Suatu prestasi gila-gilaan sekali yang memang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang gila tidak bermoral. Bayangkan penjajahan kolonial Belanda yang bercokol selama 350 tahun saja dan penguasaan Jepang selama 3,5 tahun di negeri ini, tidak mampu melakukan hal itu. Kalau saja luas wilayah negeri Belanda tidak lebih luas wilayah Provinsi Jawa Barat termasuk daerah Banten dahulu, atau lebih kurang 1/3 kali luas Pulau Jawa, maka tidak ayal lagi penggundulan hutan di seluruh tanah air sampai saat ini telah mencapai 30 kali luas negeri Belanda.
Hal ini didukung oleh keprihatinan wakil-wakil rakyat di DPR RI, setelah mengetahui penggundulan hutan di negeri ini telah mencapai 1,6 juta hektare per tahun, sementara untuk tujuan konservasi seperti pembukaan perkebunan, peladangan, pemukiman baru telah mencapai angka 3,8 juta hektare per tahun.
Mereka dari generasi 3 zaman dengan usia sekira 75 tahunan dapat dijadikan saksi hidup bahwa tatkala para penjajah asing hengkang dari bumi persada ini, terbukti mereka membiarkan lahan hutan rimba tropis di seluruh negeri ini dalam kondisi relatif utuh dan lestari. Untunglah para penjajah tersebut masih memiliki moral, memikirkan nasib generasi pe­nerus bangsa Indonesia, tidak terje­bak dalam genggaman bencana alam.
Marilah pada saat ini seluruh anak bangsa merenungkan kembali, siapakah sebenarnya yang angkara murka, para penjajah itukah atau justru bangsa sendiri? Apakah artinya areal hutan di Pulau Jawa hanya tersisa 18% lagi dari luas daratan, yang berarti hampir 80% daratan Pulau Jawa sudah benar-benar gundul total tanpa hutan. Jadi, janganlah heran jika belakangan ini di Pulau Jawa terjadi panen raya malapetaka/bencana alam, karena 80% daratan yang sudah gundul itu memang merupakan lokasi rawan bencana alam buatan manusia sendiri (manmade catastrophe).
Jadi, setiap tindakan pemusnahan hutan, pada akhirnya telah memaksa hutan-hutan itu angkat bicara dalam bahasa mereka sendiri, yang akibatnya dapat dirasakan oleh seluruh makhluk hidup. Bagaimanapun juga penghancuran hutan sama halnya dengan memasang bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu dan menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Oleh karena itu, hanya areal hutan yang tidak pernah mengalami tindakan eksploitasi berlebih/pemusnahan saja yang dapat hidup berdampingan dengan manusia, kecuali bencana alam yang timbul karena fenomena alam seperti gelombang pasang tsunami, gempa bumi dahsyat, dan sejenisnya.
Bagaimana nasib hutan-hutan setempat di negara-negara maju? Tidak luput dari perhatian, perlakuan dan kepedulian masyarakat setempat seperti dalam ulasan di bawah ini:
Pada dasawarsa tahun 70-an, hasil jajak pendapat suatu Institut Allensbach di Republik Federasi Jerman me­laporkan bahwa golongan angkatan kerja (muda) di negeri itu paling menggandrungi profesi/karier yang berkaitan dengan bidang kehutanan.
Dari sejumlah 900 orang responden pada waktu itu, ternyata para angkatan muda cenderung memilih profesi insinyur teknik/industri (25%) dan teknisi/ahli kehutanan (21%) yang sekaligus menjadi karier favorit. Baru sesudah itu menyusul profesi arsitek (18%) dan guru/pendidikan (16%), demikian menurut buku 'Deutch 2000' (1973).
Secara sepintas hasil polling di atas untuk ukuran negara industri maju seperti Jerman, memang cukup unik dan menarik di mana profesi kehutanan telah menjadi karier idaman di antara angkatan mudanya. Padahal, lapangan industri di sini lebih menjanjikan penghasilan dan kemudahan materi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya, termasuk bidang kehutanan. Jadi tidak ayal lagi, kalau tingkat kecenderungan yang besar terhadap usaha pelestarian lingkungan hidup dan hutan-hutan setempat, lebih bersifat idealisme dan kecintaan terhadap alam lingkungan.
Akhirnya 30 tahun kemudian pascajajak pendapat memang berdiri suatu partai politik 'Die Gruner' atau partai hijau di Jerman, yang misinya berorientasi kepada pembangunan berwawasan ramah lingkungan. Sejak partai itu masuk ke dalam kabinet, dapat lebih kuat dalam memperjuangkan misinya.
Sayang sekali selam era reformasi kemarin, di tanah air hampir tidak ada atau kurang sekali partai-partai yang medengungkan kampanye pemilu yang mengusung keselamatan alam lingkungan; apalagi sampai mendirikan semacam partai hijau (Die Gruner) seperti di Jerman.
Pada saat ini keseimbangan antara tingkat kepedulian dan tindakan pemusnahan terhadap lahan-lahan hutan tropis, telah jauh bergeser dras-tis ke arah kondisi penghancuran dan pemusnahan ekosistem yang diikuti oleh kehadiran puncak-puncak lokasi kerawanan pemicu segala bentuk malapetaka dan bencana alam. Situasi demikian semakin diperparah oleh menghilangnya budaya ramah dan peduli lingkungan hidup pada sebagian anak-anak bangsa, sebagai manifestasi kecintaan terhadap bangsa dan negara serta anak cucu di masa depan.
Baik para leluhur maupun para pahlawan bangsa telah memberi tauladan agar memelihara dan melestarikan tanah tumpah darah bangsa ini dan bukan sebaliknya.

Suatu keteladanan yang sangat arif dan bijaksana dari mereka-mereka itu, yang di era kehidupan modern ini telah diangkat kembali ke permukaan oleh badan dunia PBB menjadi ungkapan global yang cukup terkenal yaitu "Bahwa sumber kekayaan alam yang terdapat di seluruh planit bumi pada saat ini sekali-kali bukanlah warisan nenek moyang kita melainkan semata-mata titipan untuk anak cucu di masa depan".
Karena ketahanan nasional terhadap kecintaan pada lingkungan hidup dari anak bangsa yang sudah semakin keropos dan menipis itu, maka bangsa ini telah menjadi sasaran dan mangsa yang empuk bagi para pecundang petualang asing (cukong mancanegara) yang mendapat dukungan kuat sekali dari para cukong domestik (dalam negeri) yang tersebar di lingkungan pengusaha swasta maupun di kalangan pengambil keputusan (pemerintah).

Itulah kunci dan akar permasalahannya mengapa pembalakan liar (illegal logging) kayu-kayu di hutan sangat sulit diberantas dan terus berlangsung aman-aman saja. Jika situasi kemusnahan hutan-hutan tropis di negeri ini sudah semakin berlarut-larut saja tanpa titik terang penyelesaiannya, maka sudah tiba saatnya dicarikan terobosan-terobosan drastis, antara lain:

Sudah tiba saatnya jabatan menteri kehutanan dan lingkungan hidup harus dijabat langsung oleh Presiden Republik Indonesia sendiri, yang dibantu oleh suatu tim tangguh Mission Impossible hasil rekrutmen pribadi-pribadi dengan latar belakang disiplin-disiplin terkait yang dapat diandalkan.
Menyediakan pasukan pengawal kawasan hutan yang profesional, terlatih berdisiplin, berdedikasi dengan jaminan kesejahteraan hidup yang memadai dengan pemberian bonus, dan penghargaan pada setiap keberhasilan operasi pengamanan sumber daya alam (SDA) di lapangan.
Mewujudkan tersedianya sumber daya manusia (SDM) dengan pribadi-pribadi peduli dan ramah lingkungan di masa depan dengan investasi pendidikan wajib tentang bidang lingkungan hidup sudah sejak sekiolah dasar (SD), SMP, SMA dan universitas.

Dalam usaha pelestarian hutan-hutan ropis sebagai aset dunia antara lain paru-paru dunia, penstabilan iklim, hutan lindung dsb, harus melibatkan masyarakat internasional dan badan dunia PBB yang dapat menyediakan konpensasi dana operasional pengawasan, penelitian, ekpertis (tenaga ahli), dan pendidikan/training dll.
Perlunya didirikan pusat-pusat riset internasional ilmu kehutanan, lingkungan hidup, dan ilmu terkait di bawah naungan bendera PBB, di lokasi-lokasi sekitar kawasan hutan, pantai, pegunungan, dsb.
Sementara tenaga ahli/peneliti (riset)/teknisi lokal dapat mengisi lapangan kerja yang tersedia, sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja setempat. Sudah tiba saatnya, badan dunia PBB memiliki pengadilan khusus "Tribunal/Internasional", yang siap mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan lingkungan hidup, demi keselamatan seluruh umat di dunia.*** (Dr. M. DARUSSALAM)
Penulis, Alumni S-3 (ITB), Dosen Pasca Unpad.
__._,_.___

No comments: