Monday, July 02, 2007

Pemanasan Global Hantui Warga Dunia


Perubahan iklim saat ini telah menjadi momok yang menakutkan bagi warga bumi, tengoklah beberapa kejadian alam di berbagai belahan bumi seperti naiknya permukaan air laut dan kondisi cuaca yang tak menentu serta suhu udara makin meningkat.

Gejala alam tersebut mulai diteliti secara aktif mulai dekade tahun 1980-an dan hasilnya sangat mengejutkan para ahli lingkungan karena kengerian akan dampak yang dikuatirkan muncul kemudian.

Pemanasan bumi sebenarnya hal yang biasa, sejarah planet bumi terus menghangat dan mendingin berkali-kali selama 4,65 milyar tahun. Seperti apa proses terjadinya?, bumi yang kita huni memiliki lapisan atmosfer yang melindunginya dari dampak radisai sinar matahari. Setiap hari, panas matahari masuk ke bumi menembus lapisan atmosfir, berupa radiasi gelombang pendek. Sebagian diserap bumi, dan sisanya dipantulkan lagi ke angkasan sebagai gelombang panjang.

Pada lapisan atmosfer bumi itu, terdapat selimut gas yang biasa dikenal dengan Gas Rumah Kaca. (GRK). Gas Rumah Kaca ini yang berfungsi menahan panas matahari agar tidak dilepas kembali seluruhnya keangkasan, sehingga bumi tetap hangat.

Selama bumi masih dalam temperatur yang “nyaman” bagi hewan, tumbuhan dan manusia untuk bertahan hidup yaitu 60-F/16-C, pemanasan bumi adalah hal yang baik. Namun hal tersebut akan menjadi masalah, jika terjadi peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca yang melebihi dari batas normal.

Berdasarkan hasil pengamatan para ahli menunjukkan bahwa dalam satu abad terakhir ini telah terjadi peningkatan suhu secara global atau yang dikenal Global Warming. ”Peningkatan ini menyebabkan terjadinya efek rumah kaca sehingga suhu udara di bumi meningkat, yang dikenal dengan nama Pemanasan Global serta terjadinya pola perubahan iklim,”kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Ir Rachmat Witoelar saat pembukaan pekan lingkungan hidup Indonesia di Taman Buah Mekar Sari Bogor beberapa waktu lalu.

Menurut Racmat Witoelar, kondisi lingkungan global yang kian memburuk dipicu oleh pembangunan di berbagai negara di dunia yang kurang berwawasan lingkungan. “Karenanya itu lanjut Rachmat, dalam peringatan hari lingkungan, Indonesia menetapkan tema ”Iklim Berubah, Waspadalah Terhadap Lingkungan!,”. Tema tersebut mengingatkan seluruh pihak agar mengantisipasi dampak perubahan iklim secara global akibat meningkatnya rumah kaca yang berlebihan karena pembakaran bahan fosil oleh penduduk dunia.

Carbon Dioksida (CO2) dan beberapa jenis gas lainnya (CH4, N2O, CFC), sisa pembakaran bahan bakar minyak bumi ternyata telah memenuhi atmosfer bumi dan seolah menciptakan dinding kaca yang menjebak panas sinar matahari tertahan di permukaan bumi, fenomena ini dikenal sebagai efek rumah kaca.

Menurut para ahli cuaca internasional sebagaimana yang dikutip Radio Nederland memperkirakan bahwa planet bumi bakal mengalami kenaikan suhu rata-rata 3,5 derajat Celcius memasuki abad mendatang sebagai efek akumulasi penumpukan gas tersebut.

Dampaknya cukup mencemaskan antara lain meliputi, kenaikan permukaan laut akibat proses pencairan es di kutub, perubahan pola angin, meningkatnya badai atmosferik, bertambahnya populasi dan jenis organisme penyebab penyakit yang berdampak pada kesehatan, perubahan pola curah hujan dan siklus hidrologi serta perubahan ekosistem hutan, daratan dan ekosistem lainnya.

Para pakar lingkungan dunia selama bertahun-tahun telah mencoba mengumpulkan bukti-bukti ilmiah yang dapat menjelaskan fenomena alam ini, dan hasilnya cukup mengejutkan yaitu berupa, iklim mulai tidak stabil pada bulan Juni 1998 di Tibet terjadi gelombang udara panas, temperatur berkisar 25 derajat Celcius selama 23 hari, kejadian tersebut belum pernah terjadi sebelumnya. Kawasan Siberia, Eropa Timur dan Amerika Utara yang dikenal udaranya sangat membekukan tulang kini mulai menghangat.

Sementara Kairo pada Agustus 1998 tercatat suhu udara menembus angka 410 C. Pada Agustus 1998 di Sidney Australia terjadi badai besar disertai hujan dengan curah hujan mencapai tiga kali ukuran normal. Sementara di Indonesia, Meksiko dan Spanyol terjadi musim kering berkepanjangan akibat dipicu oleh badai tropis yang berujung pada terbakarnya hutan dengan luasan kumulatif mencapai jutaan hektar.

Fenomena alam lainnya adalah, naiknya permukaan air Laut di kawasan kepulauan Bermuda Amerika Tengah dilaporkan bahwa air laut telah meluap melampaui batas air payau dan memusnahkan areal hutan bakau di kawasan tersebut. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, dimana sejumlah daerah pesisir dihadapkan oleh kenaikkan permukaan air laut yang telah mengakibatkan kerugian materi yang dialami sebagian besar penduduk yang bermukim di sekitar kawasan pesisir pantai.

Mencairnya es di kutub utara akan menyebabkan permukaan air laut meningkat sehingga pulau-pulau kecil akan tenggelam. Sudah barang tentu, ini merupakan ancaman yang serius bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Sementara di Fiji terjadi penyusutan garis pantai sepanjang 15 cm per tahun selama 90 tahun terakhir ini. Berdasarkan hasil penelitian IPCC (1990) permukaan air laut telah naik sekitar 10-20 cm pada masa abad terakhir ini. Bila angka kenaikan permukaan air laut ini sampai menyentuh kisaran angka 20-50 cm maka habitat di daerah pantai akan mengalami gangguan bahkan musnah.

Sedangkan peningkatan sebesar 1 meter diprediksi akan mampu menggusur puluhan juta orang akibat terendamnya kota dan desa dikawasan pesisir, lahan pertanian produktif akan hancur terendam dan persediaan air tawar akan tercemar.

Sementara itu populasi penguin jenis Adeline di Antartika berkurang 33 persen dalam masa 25 tahun terakhir akibat surutnya permukaan lautan es. Team peneliti dari Kanada melaporkan bahwa jumlah rusa kutub Peary menurun drastis jumlahnya dari 24.000 pada tahun 1961 menjadi hanya sekitar 1.000 pada tahun 1997 akibat perubahan iklim yang cukup ekstrim.

Perubahan iklim terutama peningkatan suhu juga menyebabkan penyebaran berbagai penyakit berlansung cepat, bahkan memicu munculnya beberapa serangan penyakit yang sebelumnya belum pernah ada pada daerah tertentu. Sebut saja di Papua tahun 1997, penyakit malaria terdeteksi untuk pertama kalinya pada pemukiman di ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut. Meskipun dampak yang ditimbulkan akibat pemanasan global amatlah mengerikan hal ini bukan berarti kita tidak bisa berbuat sesuatu.

Adaptasi dan Mitigasi Lingkungan

Lalu Apa yang bisa dilakukan mengantisipasi dampak pemanasan global? Perlu kerjasama dan komitemen berbagai pihak yang menghuni bumi ini untuk mengatasi dan menghentikan wabah bencana tersebut.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup saat pembukaan hari lingkungan hidup se-Dunia di Jakarta telah menghimbau semua pihak agar mengupayakan langkah ”adaptasi” dan “mitigasi” terhadap lingkungan.” Kegiatan adaptasi dilakukan untuk menekan dampak perubahan iklim baik secara antisipatif maupun reaktif.

Secara sederhana adaptasi lingkungan dilakukan dengan membiasakan diri menaman pohon dan hindari menebang pohon terutama di daerah berbukit agar tidak terjadi tanah longsor dan diharapkan keberadaan pohon tersebut bisa menyerap polusi udara, budayakan hidup bersih dengan cara membuang sampah pada tempat yang telah disediakan.

Selain itu, upayakan membuat sumur resapan atau bak untuk menampung air hujan, serta menghindari daerah pemukiman di lereng bukit. Bagi pelaut, petani dan yang akan melakukan perjalanan jarak jauh, carilah informasi ramalan cuaca dan musim sebelum beraktifitas.

Sedangkan kegiatan mitigasi dilakukan sebagai salah satu upaya menurunkan efek gas rumah kaca sehingga dapat memperlambat laju pemanasan global. Yang bisa dilakukan untuk meredam laju kenaikan suhu bumi yaitu melalui pengembangan etika hemat energi dan ramah lingkungan,

Upaya lainnya adalah penghematan pemakaian listrik konsumsi rumah tangga perlu terus diupayakan terutama bila pembangkit listriknya mempergunakan bahan bakar diesel/batu bara.

Saat belanja, pilih produk dengan kemasan minimal untuk mengurangi sampah, dan bawahlah tas belanja sendiri agar meminimalkan penggunaan kantong plastik. Sebagai konsumen, kita harus kritis melakukan penolakan untuk mepergunakan barang konsumsi dan peralatan yang masih mempergunakan Kloroflourkarbon (CFC) dalam produknya karena saat kita memakainya tak ubahnya kita menyediakan tali untuk menjerat leher kita sendiri dimasa mendatang karena CFC merusak lapisan ozon. Bahan CFC banyak dijumpai pada peralatan pendingin (Kulkas, AC) serta tabung penyemprot parfum.

Menggiatkan pelestarian hutan dan reboisasi, karena keberadaan hutan ternyata berfungsi luar biasa dalam menyerap gas CO2 sehingga dapat memperlambat penimbunan gas-gas rumah kaca. Penelitian menunjukkan bahwa untuk menyerap 10 persen emisi CO2 yang ada di atmosfer saat ini diperlukan upaya penanaman setidaknya pada areal seluas negara Turki. Seandainya saja setiap jiwa di Makassar menaman satu batang pohon maka setidaknya ada sekitar 2.000 Ha hutan baru yang akan mampu menyerap sekitar 200.000 ton Carbon. Suatu jumlah yang cukup berarti bagi pelestarian bumi.”Ini bisa dilakukan oleh semua kalangan masyarakat dalam mengatisipasi perubahan iklim,”kata Arief Yuwono Sekretaris Menteri Lingkungan Hidup pada sejumlah wartawan yang meliput acara pekan lingkungan hidup beberapa waktu lalu.

Sebenarnya masih banyak langkah-langkah antisipatif yang dapat dilakukan baik ditataran individu maupun pengambil kebijakan, namun namun semuanya berpulang kembali kepada kesadaran masing-masing sebagai warga bumi.

Saatnya kita berpartisipasi menyelamatkan bumi dari kehancuran dan memberikan ruang bagi kehidupan, bagi generasi sekarang dan mendatang, karena bumi ini merupan pinjaman dari anak cucu kita yang wajib kita lestarikan.(Marwan)

No comments: