Sunday, August 13, 2006

Telah Lahir Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia


“Sebagai jurnalis, penting sekali menulis berita lingkungan yang berisikan himbauan atau memberikan pemahaman akan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan lingkungan kepada masyarakat. Ini peranan kita yang dapat disumbangkan sebagai jurnalis,” kata Aristides Katoppo dari SHU Sinar Harapan saat tampil sebagai pembicara dalam konferensi nasional masyarakat jurnlis lingkungan Indonesia di Taman Nasional Gunung Leuser beberapa waktu lalu.


Jejak Lahirnya SIEJ

Kendati Indonesia menempati posisi lima besar dunia sebagai Negara yang memiliki keanekaragaman flora dan peringkat kedua untuk spesies mamalia setelah Brazil. Namun Indonesia juga diposisikan sebagai negara yang memiliki laju kerusakan lingkungan tertinggi di dunia sehingga menjadi sorotan dunia internasional .

Kondisi tersebut membuat kalangan jurnalis se-Indonesia terpanggil untuk menyatuhkan diri guna mengambil peran yang lebih besar dalam pelestarian lingkungan di Indonesia, Iniasitif tersebut berkembang dalam sebuah diskusi lingkungan lewat mailing list wartawan lingkungan (wartawanlingkungan@yahoogroups.com) yang dimediasi Harry Suryadi mantan wartawan Kompas sekarang jadi wartawan freelance.

Selanjutnya diskusi dimilis ditindak lanjuti dengan mengelar Workshop Lingkungan di Hotel Santika Jakarta yang menghadirkan puluhan editor serta menghadirkan pembicara tiga jurnalis yang sejak awal telah menginisiasi wadah jurnalis lingkungan di daerah mereka berasal dari Green Press (Perkumpulan Wartawan Lingkungan) Kendari Sulawesi Tenggara, Jurnal Celebes (Jaringan Advokasi Jurnalis Lingkungan) Makassar Sulawesi Selatan dan Pokja Wartawan Lingkungan Kalimatan Selatan.

Pertemuan Santika tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain perlunya pembentukan forum masyarakat jurnalis lingkungan secara nasional, untuk menindak lanjuti rekomendasi tersebut maka peserta pertemuan menyepakati pembentukan working group yang dimandatir untuk mempersiapkan pertemuan nasional jurnalis lingkungan Indonesia pertama yang selanjutnya dinamakan Konfrensi Nasional Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia.

Niat untuk mendeklarasikan sebuah forum yang dinamakan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia akhirnya terealisir pada tanggal 22 April 2006 bertepatan hari Bumi dalam sebuah kegiatan yang dinamakan Konfrensi Nasional Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia yang berlangsung di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Medan Sumatera Utara (Sumut). Konferensi tersebut difalisilatasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta kerjasama dengan Earth Journalis Network (EJN) atau jaringan jurnalis lingkungan Internasional serta didukung pihak TNGL

Oh yah bercerita tentang inisiasi wadah pembela lingkungan ala komunitas jurnalis, mungkin bagusnya kalau coba sedikit menengok jejak perjalanan rombongan wartawan dari berbagai tanah air hingga sampai di TNGL sampai terbentuknya SIEJ. Rabu sore (21/4) puluhan wartawan dari berbagai pelosok tanah air mendarat di bandara Internasional Polnia Medan, kedatangan mereka ke medan bukanlah karena kepentingan peliputan lingkungan semata tapi lebih dari itu ada sebuah hajatan besar menyaksikan “sang bayi” pembela lingkungan yang telah lama dikandung akan lahir di Taman Nasional Gunung Leuser.

Selain itu juga tentu karena para jurnalis ingin menikmati panorama alam Leuser dan rasakan nikmatnya berpartroli hutan dengan mengendarai gajah Sumatera. Leuser adalah satu diantara sekian taman nasional yang ditetapkan sebagai warisan dunia yang saat ini menjadi surga para pelancong dan peneliti dunia. So pasti. “Pokoknya rugi deh kalau nggak datang,”kata salah seorang jurnalis yang hadir dalam kegiatan tersebut.
.
Saat tiba bandara seorang panitia lokal berambut gorong bernama Sugeng yang tampak cekatan dan sibuk menguntak atik ponsel pribadinya demi memberikan pelayanan terbaik bagi peserta konfrensi nasional masyarakat jurnalis lingkungan Indonesia.

Sugeng adalah aktivis pencinta lingkungan yang hari-harinya menjadi volunter Taman Nasional Gunung Leuser TNGL, setelah beristrahat sejenak, para kuli tinta itu segera diarahkan ke kantor perwakilan TNGL tak jauh dari Bandara Polinia Medan. Di kantor TNGL rombongan terakhir peserta seminar dan konferensi nasional masyarakat jurnalis lingkungan Indonesia sempat disungguhi berbagai jenis makanan khas Medan seperti kue bika ambon dan beberapa jenis makanan khas lainnya.

Menjelang magrib, rombongan wartawan bersama Kepala TNGL Ir. Winarno segera meluncur dengan menggunakan mobil kijang menuju kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), tepatnya di Tangkahan, Kecamatan Batangsarangan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Untuk sampai ke TNGL mestinya hanya butuh satu setengah jam perjalanan, tapi karena kondisi jalannya rusak berat dan berlubang sehingga harus ditempuh sekitar 3 jam perjananan dengan menyesuri jalan perkebunan kelapa sawit dan karet. Kerusakan jalan itu konon diakibatkan tingginya aktivitas truk-truk pengangkut kelapa sawit setiap waktu lalu lalang dan keluar masuk di areal perkebunan kelapa sawit milik PT PN II yang membentang dari Kota Medan hingga ke TNGL.

Rombongan baru tiba dibibir Gunung Leuser sekitar pukul 10 15 WIB, untuk sampai di tempat acara konferensi, peserta harus berjalan kaki kurang lebih 1 km dengan menuruni lembah dan menyeberangi sungai dengan menggunakan rakit yang diberi Setia Menanti serta dibantu dengan penerangan lampu senter dipandu oleh salah seorang anggota Community Tour Operator (CTO) Tangkahan bernama Sugeng.

Bagi yang salah kostum, terpaksa harus melepas sepatu dan juga mengangkat celana agar tak terkena air yang tingginya selutut orang dewasa. Di sepanjang jalan peserta disambut dengan bunyi jangkrit dan bunyi burung hantu serta gemercik aliran sungai yang memecah keheningan malam. Rombongan jurnalis tampak menikmati perjalanan tersebut.

Pukul 19.30 WIB, rombongan tiba dibangunan sederhana namun tampak alami, beratap daun rumbia yang posisinya pas berada diseberang sungai Bulu yang kemudian dijadikan sebagai tempat kegiatan Seminar Lingkungan dan Konferensi Nasional Masyarakat Jurnalis lingkungan.
Setelah menyusuri jalan setapak diiringi gemercik air sungai Bulu, suara jengkerik dan suara satwa hutan lainnya. Di sepanjang jalan juga dipasang lampu obor dibuat dari bambu. Tempat itu tak pernah terlupakan bagi puluhan wartawan lingkungan karena disanalah wadah jurnalis lingkungan Indonesia dideklarasikan yang momennya bertepatan dengan peringatan hari bumi sedunia.

Malam itu, hanya diisi dengan acara perkenalan. Baik dari pihak TNGL, pengelola pendamping dan juga perkenalan peserta dan juga panitia kegiatan. Satu jam berselang, peserta kemudian dipersilahkan beristirahat untuk mempersiapkan diri mengikuti seminar dengan tema “Tanggung Jawab Jurnalis Melestarikan Lingkungan Indonesia” dan konferensi Nasional Jurnalis Indonesia esok harinya (21/5).

Begitu pagi tiba, udara terasa dingin merasuk ke dalam tulang. Angin bertiup menggoyang dedaunan. Matahari nampak menyembul dari balik sela-sela rimbunnya hutan Leuser. Pukul 09.00 WIB peserta seminar dan konferensi Nasional Jurnalis Lingkungan Indonesia telah bersiap untuk mengikuti kegiatan yang telah dijadwalkan panitia dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan panitia lokal.

Agenda awal, peserta diwajibkan mengikuti seminar dengan tema “Tanggung Jawab Jurnalis Melestarikan Lingkungan Indonesia” yang dibuka Kepala Balai TNGL Ir Wiratno. Seminar berlangsung 2 sesi dengan pembicara dan tema yang berbeda. Narasumber tahap pertama dengan judul “Kondisi dan Ancaman TNGL oleh Wahdi dari Fauna dan Flora Internasional dan Ary Suhadi dari Indecon-yang mengembangkan mempertahankan TN berbasis ekowisata. Seminar itu dipandu oleh Hari Suryadi dan IGG Maha Adi (National Geographic Indonesia).

Diskusi tahap kedua dengan judul “Peran Jurnalis dan Media untuk Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Melestarikan Lingkungan” dibawakan oleh Aristides Katopo dari Harian Umum Sinar Harapan dan James Fahn dari Earth Journalis Network (EJN).

“Peranan jurnalis sangat besar dalam melestarikan lingkungan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui pemberitaan di media. Baik tentang kerusakan lingkungan maupun pemasaran wisata alamnya,” kata Kepala Balai TNGL, Wiratno saat mempresentasikan TNGL.

Melalui tulisannya, jurnalis dapat memberikan pesan dan menyadarkan masyarakat untuk menjaga lingkungannya. Menghentikan aksi-aksi illegal loging, penggundulan hutan dan penguasaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan serta menjaga lingkungannya. Pengusaha tidak seenaknya mengotori atau mencemari lingkungan dengan limbah usahanya yang dapat merusak ekosistem yang ada di dalamnya.

Menurut Aristides Katoppo salah satu perintis wartawan lingkungan Indonesia dan tokoh yang mempolopori lahirnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) ini, pembentukan wadah yang memuat jurnalis lingkungan penting karena dapat meningkatkan kinerja dan menyuarakan kondisi lingkungan yang tengah terjadi. “Semoga setiap hari atau setiap saat ada berita-berita tentang lingkungan,” harapnya. Karena, lanjut Aristides krisis lingkungan Indonesia sudah cukup kritis dan memprihatinkan. Jadi butuh tangan-tangan halus atau orang-orang yang perduli untuk mempertahankan lingkungan.

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot dan melelahkan tentang format kelembagaan jurnalis lingkungan Indonesia selama seharian penuh, akhirnya pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) selesai dan pada malam harinya (22/4), Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia dideklarasikan. Hari Suryadi terpilih sebagai Direktur Eksekutif SIEJ (Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia), peserta juga berhasil memilih 6 Dewan Pengawas yaitu Jajan Jamaludin (Ketua) dan anggota masing-masing IGG Maha Adi, Marwan Azis, Fatur Rahman, Priyo SM, dan Khaerudin dengan jumlah anggota pertama sebanyak 44 orang. Selain itu juga konfrensi tersebut juga berhasil menelorkan garis-garis program kerja (SIEJ), wadah jurnalis lingkungan itu diharapkan dapat mengambil bagian dalam upaya pelestarian lingkungan di Indonesia. Nantikan kiprahnya!!! (Marwan)

No comments: