Sunday, August 13, 2006

Yuk...!!! Melancong Ke Lauser

Melancong ke Lauser bisa menjadi pilihan diakhir pekan, disana kita bisa menikmati udara segar yang berasal dari rimbunan pohon-pohon sambil berpatroli dengan menggunakan gajah

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dapat dicapai dengan menempuh perjalanan sekitar 3 jam dari Kota Medan Sumetera Utara dengan menggunakan kendaraan roda empat yang menyusuri jalan perkebunan kelapa sawit dan karet milik PT Perkebunan Nusatara II. Kondisi topografi pintu gerbang TNGL yang berlembah membuat mobil tidak bisa sampai di lokasi base camp TNGL, kendaraan terpaksa dipakir di posko Tangkahan Simaler Ranger yang terletak di pintu masuk kawasan TNGL. Namun sebelum berkunjung ke kawasan ini sebaiknya berkoordinasi dengan pihak pengelola TNGL.

Selanjutnya pengunjung harus berjalan kaki kurang lebih 1 km dengan menuruni lembah dan menyeberangi sungai dengan menggunakan rakit dipandu oleh salah seorang anggota Community Tour Operator (CTO) Tangkahan.

Jika memasuki kawasan ini pada malam hari di sepanjang jalan terdengar suara burung hantu serta gemercik aliran sungai yang memecah keheningan malam. Namun tak usah kuatir karena sepanjang jalan dipasang lampu obor yang dibuat dari bambu. Tak hanya itu kita juga diiringi suara jangkrik sang penghias malam. Nakum Sujono dalam puisinya berjudul “Jangkrik Penghias Malam menulis, Jangkrik, akulah jangkrik penghias malam seperti bukan indahnya malam jika tidak ada suara jangkrik. Kendati cuaca dingin menusuk hingga ke sum-sum tulang tapi menjadi nikmat bagi siapa pun yang suka dengan dunia petualangan (adventure).

Pada siang hari ketika menyusuri jalan setapak, kita akan menyaksikan perkampungan penduduk asli yang telah lama mendiami kawasan tersebut, warga selalu ramah menyambut siapa saja yang berkunjung sepanjang tak mengusik lingkungan yang memang dilarang untuk dirusak.

Warga Medan khususnya berdomisili disekitar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) patut bersyukur karena dikarunia kekayaan dan panorama alam yang tak ada taranya di dunia. Keberadaan hutan Gunung Leuser yang masih tampak ‘’perawan’’ dengan segala flora faunanya memikat para pelancong dan peniliti dunia untuk datang ke laboratorium alam itu.

Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai Biosphere Reserve atau Cagar Biosfer atas usulan pemerintah Indonesia pada tahun 1981. Kemudian pengakuan tersebut berlanjut dengan ditetapkannya TNGL sebagai Tripocal Rainforest Heritage of Sumatera bersama-sama TN Kerinci Seblat dan Bukit Barisan Selatan pada tahun 2004.

Dunia mengakui keunggulan kawasan TNGL yang luasnya lebih dari 1 juta hektar, bahkan menjadikannya sebagai “laboratorium alam”. Leuser juga menjadi surganya para peneliti dan pelancong, baik dari mancanegara maupun domestik.

MacKinnon, peneliti lingkungan berkelas internasional pernah mengatakan, Leuser mendapatkan skor tertinggi untuk kontribusi konservasi di seluruh kawasan Indo Malaya. Leuser merupakan tempat habitat sebagian besar fauna mulai dari mamalia, burung, reptil, amfibia, ikan, dan avertebrata. Ada 350 species burung dari 380 yang ada dan 36 dari 50 species burung endemic “sundaland” yang menjadikan Leuser sebagai rumahnya.

Ekosistem Leuser juga merupakan habitat fauna kunci seperti gajah Sumatera (elephas maxsimus sumaterae), badak Sumatera (dicerorhinus sumateraensis), dan orang utan Sumatera (pongo obelii). Selain itu ada owa (hylobateslar), kedih (presbytis thomasi) dan fauna lainnya. Selain sebagai rumah fauna, di TNGL juga ada 4.000 species flora dan 3 jenis dari 15 jenis tumbuhan parasit rafflesia serta ada tumbuhan obat (brimacombe dan elliot, 1996).

Sebagai laboratorium alam, para peneliti datang silih berganti melakukan penelitian, baik tentang faunanya maupun keragaman floranya. Stasiun Riset Orangutan di Katombe Kabupaten Aceh, yang juga masih termasuk ranah dari kawasan TNGL merupakan salah satu stasiun riset tertua yang dibuka tahun 1971 oleh Dr Herman D.Rijksen, hingga saat ini tetap menjadi lokasi yang menarik minat para peneliti baik dari domestik maupun manca negara. “Setiap tahunnya jumlah pengunjung meningkat,” kata Kepala Balai TNGL, Ir Wiratno pria paruh baya yang aktif mempromisikan upaya kolaborasi di Sumatera Utara dalam mendukung kegiatan konservasi lingkungan di daerah ini.

Pelancong dapat menikmati indahnya alam dan merasakan kesejukan udara dan kesegaran air sungai dan air terjun yang belum tercemar dan terkena polusi. Tak hanya itu dilokasi ini terdapat pula satu objek wisata yang bisa dinikmati berupa air panas alami.

Beberapa pilihan kegiatan yang bisa dilakukan pengunjung diantaranya Scubing atau dikenal sebagai salah olaraga air yang menggunakan ban bekas bisa menjadi pilihan untuk menguji derasnya dan sejuknya air sungai, dan jika ingin menyusuri hutan kita bisa menggunakan gajah yang sudah jinak sebagai kendaraan patroling dengan didampingi pawang gajah. Sedangkan untuk menikmati rimbunnya hutan bisa dilakukan dengan cara trackking melihat keanekaragaman flora dan fauna, gua serta panorama alam dari ketinggian Gunung Leuser. Asikan kan

Kerja Bareng Lestarikan Leuser

Selain keindahan panorama alam Gunung Leuser yang memikat, bagi pihak yang ingin mendapatkan poin pembelajaran pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, Gunung Leuser khususnya daerah Tangkahan juga menarik menjadi pilihan studi pembelajaran bagi kalangan aktivis yang giat mengembangkan upaya kolaborasi dalam pengelolaan sumber daya alam.

Suasana cair antara pihak pengelola TNGL, puluhan volunter yang sebelumnya aktif di kegiatan komunitas pencinta alam (KPA) namun kini mengabdikan dirinya pada pelestarian TNGL, Conversation Respons Unit (CRU) dengan masyarakat lokal yang menghuni kawasan tersebut tampak terlihat saat memberikan pelayanan bagi rombongan wartawan lingkungan dari berbagai pelosok tanah air yang berapa waktu lalu menyelenggarakan Konferensi Nasional Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia.

Kejadian itu hanya bagian kecil dari kerja bareng yang telah dilakukan sejumlah pihak yang berkepentingan dalam pelestarian Taman Nasional Gunung Leuser. Menurut Wiratno, keberhasilan pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) maupun Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sangat ditentukan oleh sinergitas para pihak dari berbagai tingkatan baik lembaga lokal maupun internasional. Membangun visi yang sama adalah adalah mutlak agar dapat dicapai collective awareness dan nantinya akan menjadi model sosial menuju aksi bersama.

Diungkapkan Wiratno, saat ini pihak pengelola TNGL tengah berkolaborasi dengan masyarakat lokal serta didukung oleh sejumlah lembaga yang konsen dalam kegiatan konservasi diantaranya Yayasan Leuser Internasional, Fauna dan Flora Internasional, Yayasan Ekosistem Lestari, UNESCO, Conservation Internasional Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Lembaga Pariwisata Tangkahan dan Pemerintah Kabupaten Langkat.

Keseluruhan lembaga tersebut membagi diri dalam berbagai kegiatan sesuai konsentrasi dan potensi masing-masing lembaga. Misalnya Yayasan Leuser Internasional (YLI) memfokuskan dukungan di sekitar TN Gunung Leuser dengan berbagai inisiatif konservasi dan pembangunan berkelanjutan, Flora dan Fauna (FFI) berkonsentrasi pada dukungan pembangunan sistem patroli bersama Conservation Respon Unit (CRU), sekaligus melakukan perlindungan gajah Sumatera. Di Tangkahan Kecamatan Bantang Serangan Kabupaten Langkat Leuser, keberadaan gajah ini mendukung pengembangan ekowisata berbasis masyarakat, yang dikembangkan oleh Lembaga Parawisata Tangkahan.

Yayasan Ekosisten Lestari (YEL) membantu Balai TNGL dalam pelestarian orangutan di Sibolangit dan melakukan seri penelitian Ketambe. Sedangkan UNESCO melalui program yang dikembangkan oleh World Hertige Center di Paris mendukung program-program peningkatan kapasitas staf Balai TNGL melalui pelatihan dan dukungan patroli lapangan serta penguatan resort-resort di seluruh kawasan TNGL.

Conservation Internasional (CI) Indonesia yang sedang mengembangkan konsep North Sumatran Corridor (NSC) juga mulai mendukung Balai TNGL melalui pengenalan program-program pendidikan lingkungan dan penguatan kapasitas staf Balai TNGL. WALHI NAD dan Sumut konsen pada program kampanye pelestarian kawasan TNGL dan pendampingan masyarakat serta advokasi kebijakan baik tingkat kabupaten hingga tingkat nasional.

Sementara Lembaga Parawisata Tangkahan (LPT) merupakan mitra lokal berdiri atas inisiatif masyarakat 2 desa setempat untuk membantu melestarikan kawasan TNGL di wilayah desanya, sekaligus mengembangkan ekonomi mikro berbasiskan ekowisata. Inisiatif 5 tahun lalu itu sudah berhasil dengan terbangunnya komitmen masyarakat membantu menjaga Leuser.

Diakui Wiratno, tidak gampang untuk mendekati warga dan menyadarkan mereka, namun setelah melalui upaya panjang, akhirnya warga sadar diri dan justru membantu pihak TNGL menjaga kelestarian hutan. Baik melalui patroli bersama dengan berjalan kaki maupun menggunakan gajah dan sekaligus melindungi gajah melalui Conversation Respons Unit dibawah FFI.

Pelestarian hutan dan ekosistem di dalam TNGL konsep kolaborasi membangun hutan berbasis ekowisata dengan memaksimalkan peran masyarakat selain bisa bermanfaat pada pelestarian lingkungan juga bisa menopang kehidupan warga sekitar kawasan tersebut. “Jadi, selain lingkungan terjaga peningkatan ekonomi di sekitar kawasan juga terjadi,” kata Ary Suhadi dari Indecon (Indonesia Ecotourism Network).(Marwan)





No comments: